Minggu, 30 Desember 2012

Rizka's Story


Aku tidak ingat berapa usiaku saat itu. Mungkin sekitar 3 atau 4 tahun. Aku tumbuh menjadi seorang anak yang ceria dan penuh kegembiraan.
Pada suatu hari, aku ingat saat seorang wanita memaksaku melepas pakaianku di depan rumah. Ya, saat itu usiaku memang masih 3 atau 4 tahun, tapi tetap saja semua itu membekas di otakku. Wanita itu terlihat terpukul, sedih, dan juga marah. Ia menarik pergelangan tanganku, lantas membawaku masuk ke dalam rumah. Aku melihatnya menangis terisak. Aku tak melakukan apapun. Aku hanya memikirkan pakaian baruku yang sudah tak lagi aku kenakan.
Masih saat usiaku 3 atau 4 tahun, seseorang membelikanku 3 buah boneka kecil. Kalau tidak salah, 3 buah boneka kucing karena sejak dulu aku sangat menyukai kucing. Lagi-lagi seorang wanita memaksaku untuk membuang boneka itu. Boneka baru yang langsung mendapat kasih sayangku, ia memaksaku untuk membuangnya dan berjanji akan membelikanku boneka baru.
Lalu, saat aku sudah lebih dewasa. Waktu itu aku sudah menjadi anak SD, tapi tetap aku tak ingat berapa usiaku saat itu. Aku melihat seorang anak perempuan berambut keriting di rumahku. Usianya mungkin 2 tahun. Anak yang sebenarnya tak berdosa itu, akhirnya dibenci oleh banyak orang, termasuk aku. Anak itu dilempar kesana dan kemari tanpa ada kejelasan. Anak itu terus menangis dengan wajah polosnya.
Aku juga ingat saat aku melemparkan satu bungkus racun tikus pada seorang wanita yang duduk di sofa rumahku. Waktu itu aku juga masih menjadi anak SD.

Rizka kecil yang kelihatannya polos, ternyata tak sepolos itu. Memory-memory kecil dari masa lalu, ternyata masih membekas hingga kini.
Rizka kecil yang kehilangan baju baru dan boneka barunya terus bertanya: "kenapa?" dan "siapa?". Tapi tetap tak mendapat jawaban, kecuali isak tangis. Mungkin setelah itu banyak baju baru yang aku dapatkan. Juga setumpuk boneka baru yang hingga kini mengisi lemariku. Tapi sadarkah bahwa memory itu tetap melekat hingga Rizka tumbuh dewasa? Sadarkah bahwa semua itu mempengaruhi mentalku hingga kini?
Rizka kecil yang membenci seorang bayi tak berdosa. Yang menatap bayi itu dengan tatapan sinis. Apakah itu yang membuatku sekarang selalu sinis pada orang? Juga selalu menyimpan dendam pada orang? Selalu membenci? Selalu berburuk sangka?
Rizka kecil yang memberikan sebungkus racun tikus pada seseorang. Bukankah itu tindakan yang tak bermoral? Apa semuanya selesai dengan kematian? Entah besok atau lusa, semuanya bisa saja muncul kembali ke permukaan. Selalu ada ketakutan itu dalam hatiku. Siapa yang pantas disalahkan? Apakah baju baruku? Atau bonekaku?

Rizka yang selalu hidup dalam kecurigaan. Bahkan pada setiap telepon yang berdering, juga pada setiap sms yang masuk. Bukankah orang yang dulu pernah salah, lalu bertaubat, tetap bisa melakukan kesalahan yang sama lagi? Bukankah semua hal itu mungkin terjadi?
Siapa yang bertanggung jawab pada air mata yang mengalir? Pada hati yang tersakiti? Pada jiwa yang terluka?

Rizka yang mencoba lepas dari ketakutan masa lalu. Bangkit menjadi sosok yang baru. Bisakah? Bisakah aku lepas dari semua itu? Bahkan nama dan wajahnya masih terkenang. Juga setiap rentetan peristiwa kelam itu.
Kini, Rizka dewasa sudah lebih bisa berpikir. Sudah bisa menganalisis suasana. Sudah bisa bertindak.
Tapi, Rizka dewasa takut pada masa lalu. Akankah ada air mata? Air mata yang bukan hanya miliknya, tapi kini juga milikku. Rizka dewasa bisa mengungkap semuanya. Tapi setelah itu apa yang bisa aku perbuat? Apa aku bisa menguak luka lama? Trauma yang aku alami sekarang, bisa saja mereka alami. Atau aku harus menutup semuanya dan berusaha tetap tersenyum? Tapi bukankah ini layaknya bom waktu yang tinggal menunggu saat yang tepat untuk meledak? Aku tak ingin ada rasa takut lagi. Aku tak ingin mereka menjadi seperti aku. Aku tak ingin mereka terluka seperti aku. Cukup aku..

Rizka kecil tumbuh menjadi Rizka dewasa. Saatnya bersikap dewasa..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar