Jumat, 03 Desember 2010

Dieng : Surga di Atas Bara

Judul tersebut merupakan kata-kata ‘pinjaman’ dari Bapak Hadori, dosen meteorologi di jurusan Pendidikan Geografi UNY. Kata-kata itu sepertinya merupakan kata-kata favorit beliau. Hal ini karena kata-kata itu sangat sering diucapkan oleh beliau. Bahkan pada setiap perkuliahan, beliau tak luput mengucapkan kata-kata itu.
Kegemaran Bapak Hadori mengucapkan kata-kata itu sepertinya didasari oleh rasa cinta beliau pada daerah Dieng. Bukan hal yang tabu lantaran beliau sudah sangat sering mengunjungi Dieng. Bahkan dalam satu tahun bisa beberapa kali. Dieng seperti telah mendarah daging bagi beliau sehingga beliau sudah kenal akrab dengan daerah tersebut. Hal ini terbukti ketika kami mahasiswa pendidikan geografi kelas non reguler menyatakan protes kecil-kecilan mengenai rencana kami untuk kuliah lapangan pada minggu kedua bulan desember nanti. Protes ini disebabkan karena kabar mengenai ancaman bahaya letusan di daerah Dieng. Namun Bapak Hadori ternyata sama sekali tak menggubris pemberitaan itu. Beliau menyatakan bahwa beliau sudah hafal tentang daerah-daerah bahaya di Dieng sehingga tak terlalu mengkhawatirkan berita tersebut.
Sebuah pernyataan yang menggelitik saya. Apalagi jika dihubungkan dengan judul yang ada di atas. Sebenarnya apa yang dimaksud dalam judul di atas? Saya mencoba untuk sedikit membahasnya meskipun saya juga belum pernah menginjakkan kaki di daerah Dieng.
‘Surga di Atas Bara’. Sebuah susunan kata indah yang menyimpan misteri. Saya perlahan mulai menelaah kata-kata itu dan mengerti bahwa yang dimaksud adalah : di balik kekayaan alam dan potensi alam di daerah Dieng terdapat potensi bahaya yang tak pernah bisa diprediksi kapan datangnya. Sebenarnya hal ini sudah merupakan rahasia umum. Bahkan untuk warga Dieng sekalipun. Namun mereka seperti tak menghiraukan semua itu karena saat ini mereka sedang menikmati ‘surganya’, yaitu menikmati sejuta potensi positif yang ada di Dieng.
Lantas potensi bahaya seperti apa sampai-sampai Bapak Hadori menciptakan kata-kata yang maknanya begitu mendalam itu?
Saya akan mencoba menganalisis pernyataan itu..
Dataran tinggi Dieng atau Plateau Dieng terbentuk oleh kawah gunung berapi yang telah mati. Namun sampai saat ini aktivitas vulkanik masih dapat dijumpai. Aktivitas vukanik yang terdapat di daerah tersebut mengeluarkan gas karbondioksida, kadang-kadang mengakibatkan bencana bagi masyarakat setempat. Seperti pada kawah Sikidang, Sinila dan Timbang yang berpotensi mengeluarkan gas beracun.
Pada Februari 1979 terjadi bencana di kawah Sinila berupa ledakan besar dan mengeluarkan gas karbondioksida dan belerang yang mengakibatkan 149 penduduk meninggal dunia.
Pada tahun 1944 di daerah Djawera dan Kepakisan Lor, Kepakisan, Sekalem, Sidolok, dan Pagerkandang terjadi letusan kawah Sileri yang mengakibatkan 38 orang terluka dan 55 orang hilang.
Pada Oktober 1939 dan Januari 2009 juga terjadi ledakan yang sama di Dataran Tinggi Dieng.
Ternyata sederetan bencana itulah yang disebut ‘Bara’ oleh Bapak Hadori. Ya. Setiap tempat bisa meledak kapan saja tanpa bisa diprediksi. Sebuah kenyataan pahit yang harus saya dan teman-teman seangkatan saya di pendidikan geografi karena Bapak Hadori tetap nekat memberangkatkan kami apapun yang terjadi dengan Dieng. Kami hanya bisa berharap supaya kami hanya menjumpai ‘Surga’ saat kami di Dieng dan kami dijauhkan dari ‘Bara’ yang mengintai kami kapanpun. Amin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar